23/01/2016

Day 8 : Manado, The Art Of Doing Nothing (END)

Sebelumnya saya ucapkan Selamat Tahun Baru dulu untuk bloggie sekalian. Seperti tahun – tahun sebelumnya, saya mengusahakan untuk tidak tahun baruan di kota yang saya tinggali. Yah, walaupun ujung – ujungnya tetep tahun baruan di atas kasur sambil nonton film. Dan tahun baru 2016 ini pilihan saya jatuh di Kota Manado. Sebelumnya, saya merencanakan untuk tahun baruan di Ternate, namun karena ada undangan nikah salah satu sahabat saya, Ganis. Maka saya memutuskan untuk mempercepat jadwal, sehingga saya bermalam tahun baru di Manado, bumi nyiur melambai.



Tahun baru kali ini saya habiskan full di dalam hotel tanpa melihat keluar, melihat suasana Manado di malam hari. Jadi kalau teman – teman nanya “Udah kemana aja di Manado ?” saya bakal jawab “Di hotel saja, Manado so macet e” hahaha ! Tapi untungnya, di Top Hotel tempat saya menginap menyediakan New Year Package, dinner dengan acara pesta kembang api dan free cocktail. Walaupun begitu, jam 10 malam saya sudah naik ke kamar dan kembali selimutan. Tak ketinggalan begitu pun dengan Mba Maria. Yeah, saya senang bisa dapat teman jalan yang satu pikiran, malam itu saya hanya ingin beristirahat, setelah selama ini selalu memaksimalkan tenaga untuk eksplor suatu daerah. Sekarang saatnya me time ! Dan besok saatnya pulang ke Solo ! Happy New Year, bloggie !

Sebelum mengakhiri postingan ini, saya mau share pengalaman tentang nyari taksi menuju bandara Sam Ratulangi, Manado di tanggal 1 Januari pas tahun baru kemarin. Manado merupakan kota dengan penduduk mayoritas beragama nasrani, sehingga Natal dan Tahun Baru merupakan hari raya yang harus dirayakan dan digunakan untuk berkumpul bersama keluarga. Armada taksi yang jalan pun tidak sebanyak hari biasa, sehingga saya harus menunggu taksi sampai 2 jam. Dan karena taksi tak kunjung datang, sementara saya harus ke bandara untuk pulang ke Solo, saya pun memutuskan untuk mencharter angkot menuju bandara seharga 150.000. Jadi saran saya, jangan pulang di hari tahun baru dan usahakan untuk mencari transportasi H-1, janjian dengan supirnya agar tidak menunggu seperti saya.

Selesai sudah perjalanan saya explore tanah Sulawesi – Ternate 25 Desember 2015 – 1 Januari 2016 dengan total 8 hari, 2 pulau, 3 provinsi, dan 5 kota. Ini adalah pengalaman paling berkesan yang pernah saya alami sendiri, menjadi solo backpacker. Saya mendapatkan banyak pembelajaran selama perjalanan kali ini, dimana semua keputusan berada di tangan saya sendiri, ketika ada masalah harus diselesaikan sendiri. Rasa kesepian yang saya takutkan datang ketika menjadi solo backpacker pun tidak terjadi, saya bertemu dengan orang – orang baru di setiap kota yang saya datangi. Terima kasih untuk Kak Nona, Epi sudah menjadi teman baru saya di Toraja. Terima kasih untuk mamang – mamang Gojek Makassar yang sudah mengantarkan saya kemana – mana. Terima kasih Pak Oslan, Mas Firman yang sudah menemani saya berkeliling Ternate, menemani saya makan papeda dan nongkrong sampai tengah malam di kawasan Tapak. Terima kasih Mba Maria, udah jadi temen trip yang menyenangkan selama di Manado – Tomohon, semoga ada kesempatan lagi untuk ngetrip bareng. Dan tidak lupa terima kasih untuk teman – teman Forum BPI (Backpacker Indonesia) dan Kaskus Domestik yang sudah berbagi informasi tentang perjalanan saya kali ini.

Day 7 : Kaget Di Pasar Tomohon, Damai Di Bukit Doa

Note : Postingan mengandung disturbing picture. Bagi yang sedang makan, harap diselesaikan dulu makannya baru dilanjut baca. Terima kasih. 

Hari ini kami berusaha untuk keluar hotel sepagi mungkin karena objek wisata yang ingin kami datangi cukup banyak. Jam 7 kami sudah selesai sarapan di hotel, tapi sayangnya hujan turun lumayan deras pagi itu. Hawanya jadi sangat sejuk, kabut turun, sejauh mata memandang hijau hijau dan hijau. Bawaannya pengen naik lagi ke kamar dan tidur haha !

Sejuk
Setelah hujan lumayan tidak terlalu deras, kami langsung keluar menerobos hujan supaya tidak kesiangan. Destinasi pertama pagi ini adalah Pasar Beriman Tomohon. Pernah dengar kiasan "Semua yang berkaki di Manado dimakan, kecuali kaki meja” ? Yes, di pasar inilah jawabannya. Pasar Beriman terkenal dengan sebutan pasar ekstrim dimana dijual aneka macam binatang yang cukup ekstrim bagi yang belum pernah melihatnya. Antara lain tikus, anjing, kucing, kelelawar, dan ular. Mungkin anjing di beberapa daerah cukup familiar, saya pun juga merasa familiar dengan sajian anjing. Tapi cara menjajakan hewan – hewan tersebut belum pernah saya lihat sebelumnya. Sudah bukan merupakan potongan – potongan daging yang siap jual, melainkan masih utuh seperti bentuk aslinya dengan warna gosong, efek pembakaran untuk merontokkan bulu. Bagi yang ga kuat liat gambar – gambar yang lumayan ekstrim atau yang lagi makan, bisa langsung dikebut scroll kebawahnya yah. Biar ga sengaja terlihat foto – fotonya.

Sesampainya di Pasar Beriman, kami langsung memarkirkan motor dan menuju ke los penjual daging. Awalnya saya masih rada jiper, tapi karena ditemani Mba Maria saya mencoba untuk tegar dan bertekad ini adalah pertama dan terakhir kalinya saya berkunjung ke Pasar Beriman. Saya sih tidak menganggap jijik daging – daging yang dijual di pasar ini, karena nantinya juga akan dikonsumsi oleh warga sekitar, ga etis rasanya jijik dengan makanan seseorang. Saya hanya shock karena tidak pernah melihat hal ini sebelumnya. Saya masih tetap menghargai pilihan mereka untuk mengkonsumsi daging – daging tersebut. Sip ! Intinya saling menghargai saja ya teman – teman.

Memasuki area los daging, tanah yang saya pijak mulai terlihat semu – semu merah seperti tercampur dengan darah. Bau anyir juga mulai tercium. Fyi, saya benci bau daging. Kalau ke pasar nemenin mumichtu saja kadang saya tidak mau masuk ke area daging. Tapi saya sok kuat berhubung ada yang nemenin haha ! Dari kejauhan mulailah terlihat tumpukan hewan – hewan tersebut dalam keadaan gosong di atas meja jualan, siap dijual. Beserta mamang – mamang daging dengan pakaiannya yang berlumur darah. Kemudian tanah yang saya pijak semakin banyak darah yang menggenang. Bagi yang ga kuat saya sarankan jangan masuk ke pasar ini, takutnya pingsan.




Di Solo, daging babi merupakan hal yang wajar dijual di pasar. Tapi yang membuat saya agak kaget dengan babi yang dijual di pasar ini adalah, babinya masih utuh dan fresh dengan darah masih mengalir dari lubang – lubang tubuhnya. Sayangnya, saat saya kesana saya tidak melihat ular, karena katanya ular hanya dijual saat weekend saja.

Kami tidak menghabiskan waktu lama di Pasar Beriman, saya juga takut baju saya terciprat darah dari penjagal yang sedang memotong – motong daging disana. Saya benci darah, darah apapun. Datang ke pasar ini merupakan sebuah pencapaian yang hebat. Yeay !

Destinasi selanjutnya adalah mengunjung kompleks rumah panggung kayu di Woloan. Jaraknya dari Tomohon tidak jauh, sekitar setengah jam perjalanan. Saya pikir di Woloan ini sama seperti di Kete Kesu, Toraja, rumah – rumah adat yang dijadikan objek wisata. Ternyata Woloan merupakan pusat pengrajin rumah kayu khas Minahasa, sehingga rumah – rumah tersebut untuk dijual bukan merupakan objek wisata. Rumahnya sendiri “sangat Minahasa”, saya suka dengan modelnya dan ingin rasanya punya rumah panggung seperti itu. Walaupun bukan objek wisata, tapi tidak ada salahnya untuk berkunjung kemari.

Rumah panggung kayu di sepanjang jalan 


Tidak banyak yang dapat kami lakukan selama di Woloan selain foto – foto. Rumahnya cakep, dan ada yang menggunakan sistem knock down sehingga rumahnya dapat dibongkar pasang. Sayangnya waktu saya kesana tidak ada orang yang bisa ditanyain, sehingga saya kurang dapat menggali informasi mengenai rumah panggung Woloan ini.

Selanjutnya kami menuju kompleks kuburan batu yang bernama Taman Waruga di Desa Sawangan, Air Madidi, Minahasa Utara. Jika selama ini saya selalu meremehkan peringatan dari warga sekitar yang mengatakan “jauh banget”, kali ini saya harus mempercayainya. Jarak dari Tomohon menuju Air Madidi lumayan membuat pantat saya pegal selama di motor. Medan yang kami lalui pun cukup menantang, kelokan – kelokan tajam, jalan yang naik dan turun. Sampai terkadang Mba Maria berteriak dari boncengan “Gas... ! Gas... !” takut kalau motornya ga kuat nanjak kali ya haha ! Tapi untungnya performa dari motor sewaan Jhoanie Hotel ini mantap banget.

Perjalanan dari Tomohon menuju Air Madidi harus melewati beberapa daerah, antara lain Tondano dan Tonsea Lama. Saat di perjalanan, saya melihat ada situs goa jepang di pinggir jalan, sayang sekali saat itu tidak ada yang menjaga, kalau ada yang jaga saya rasanya ingin masuk. Walaupun dari luar terlihat seram, saya merasa sedikit tertantang. Perjalanan menuju Air Madidi didominasi hutan dan jurang, sehingga jarang saya melewati pemukiman yang padat. Yang unik, di pinggir jalan banyak saung kecil yang menjajakan air di dalam botol – botol kaca. Ternyata air tersebut adalah minuman keras khas Manado yang sering disebut dengan Cap Tikus. Konon katanya asal mula penamaan Cap Tikus adalah, minuman keras ini dibuat di dalam hutan dan selama proses pembuatan, tikus merupakan makanan bagi para pembuatnya. Entahlah hahaha. Tapi yang jelas, Cap Tikus ini mulai banyak dilarang di beberapa daerah karena sering digunakan untuk mabuk – mabukkan dan menimbulkan onar. Mau mencicipi Cap Tikus ? Bloggie bisa beli di lapak-lapak sepanjang jalan Tonsea Lama – Air Madidi.

Akhirnya setelah satu setengah jam perjalanan yang cukup membuat pantat pegal dan tangan saya pegal karena sering main rem mengimbangi jalan yang berkelok – kelok dan naik turun. Kami pun tiba di Desa Sawangan, tempat situs megalitikum Waruga, kuburan batu leluhur orang Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah, dengan rongga di bagian tengahnya untuk memasukkan mayat.


Relief tentang kuburan Waruga

Posisi mayat di dalam Waruga yaitu duduk menunduk, dahi menempel di lutut seperti janin. Posisi ini menunjukkan keadaan manusia saat lahir maupun meninggal harus sama. Selain itu, mayat juga harus menghadap ke utara yang menandakan nenek moyang suku Minahasa berasal dari utara (jangan – jangan Filipina ?). Ukiran yang terdapat di Waruga pun menggambarkan profesi mayat tersebut saat hidup. Seperti contohnya jika ukirannya berupa binatang, berarti semasa hidupnya si mayat berprofesi sebagai pemburu. Saat ini kuburan Waruga sudah tidak ada isinya lagi, karena pada abad ke 9 sudah dilarang penguburan sistem Waruga ini karena takutnya akan menyebarkan virus kolera yang berasal dari mayat. Selain itu, masuknya agama kristen yang mengajarkan bahwa mayat harus dikubur di dalam tanah. Jika berjalan – jalan ke Manado, sempatkan untuk berkunjung ke kompleks kuburan batu Waruga ini. Karena Waruga merupakan situs yang dilestarikan oleh UNESCO.





Tujuan terakhir hari ini, sebelum kami cek out dari hotel dan kembali ke Manado adalah Bukit Doa Tomohon yang letaknya persis di depan Jhoanie Hotel. Sebenarnya kami ingin menyempatkan untuk berfoto di kebun bunga Tomohon yang sangat ikonik di instagram, namun apa daya, ternyata bunga – bunga sudah dipanen habis menjelang Natal dan Tahun Baru sehingga tak tersisa sedikit pun untuk kami foto- foto.

Bukit Doa Tomohon merupakan wisata religi bagi umat nasrani. Dimana disana menyediakan rute jalan salib, gua maria, dan chapel di puncaknya. Saya kesana ingin menikmati suasana Bukit Doa yang hijau dan asri. Serta ingin melihat kota Tomohon dari atas, karena rute jalan salib yang disediakan di Bukit Doa Tomohon ini menanjak tinggi banget. Selain itu, Bukit Doa Tomohon berhadapan langsung dengan Gunung Lokon. Impian saya melihat Gunung Lokon selama di Tomohon belum terkabul, kabut selalu menutupi kegagahan gunung itu. Bagi yang tidak kuat mengikuti rute jalan salib yang menanjak, kalian bisa langsung menuju puncak dimana terletak chapel Bukit Doa Tomohon dengan naik kendaraan bermotor, tentunya melalui jalan yang berbeda. Jadi disediakan 2 alternatif menuju puncak, yaitu mengikuti rute jalan salib atau langsung dengan kendaraan bermotor. Karena saya penyuka tantangan dan saya penasaran dengan jalan salib, saya pun mengikuti rute jalan salib. Sebelumnya, sudah diwanti – wanti dengan penjaga pintu masuk bahwa kalau merasa capek, jangan berjalan turun karena ini one way bukan untuk 2 arah. Karena kalau kita turun di tengah perjalanan, maka akan merusak esensi jalan salib. Baiklah, cus !

Salib merah besar menyambut kita
Tiket masuk Bukit Doa Tomohon seharga 15 ribu/orang. Pastikan membawa air minum ya bloggie selama mengikuti jalur jalan salib, percayalah, kalian nanti akan membutuhkan itu hahaha !


Setelah disambut salib besar berwarna merah, kita ikuti saja terus jalur yang disediakan. Awalnya jalur masih landai, dan makin lama makin nanjak serta tanaman pun semakin rimbun. Di rute jalan salib terdapat 14 pemberhentian / stasi. Dimana di setiap pemberhentian ada diorama yang menceritakan kisah di setiap pemberhentian.

Diorama
Tanaman rimbun
Setelah naik sampai ke pemberhentiaan terakhir maka kita akan memasuki sebuah lorong yang gelap, dimana disana banyak kelelawar, agak sedikit mengerikan. Karena saking gelapnya, maka saya mengeluarkan senter hp saya sebagai alat bantu penerangan. Setelah keluar lorong, kita akan disambut Gua Maria, kemudian kita bisa melanjutkan ke chapel sambil menikmati pemandangan Gunung Lokon di depan kita.




Sekali lagi, sayangnya kabut mendung menutupi langit Tomohon siang itu. Gunung Lokon yang gagah tidak kelihatan sama sekali bloggie. Sedih banget, 2 hari di Tomohon gagal melihat Gunung Lokon.

Selesai menikmati pemandangan dari Bukit Doa, kami segera kembali ke hotel dan bersiap – siap untuk pulang ke Manado. Sulitnya mencari transportasi untuk pulang ke Manado kami rasakan pada saat malam tahun baru. Mobil – mobil plat hitam banyak yang berhenti beroperasi dan sebagian besar sudah dicharter oleh tamu – tamu dari luar kota. Namun sekali lagi saya berterima kasih kepada pihak Jhoanie Hotel yang bersungguh – sungguh mencarikan kami mobil untuk ke Manado. Terima kasih Jhoanie Hotel ! Dan Alhamdulillah macet yang saya takutkan dalam perjalanan Tomohon – Manado pun tidak terbukti, karena walaupun padat, jalanan cukup lancar.

DAMAGE COST : 
*Makan siang : 27.000
*Tiket masuk Bukit Doa Tomohon : 15.000
*Mobil Tomohon – Manado : 200.000/2 : 100.000
Total : 142.000

Day 6 : Indahnya Danau Linow Dan Danau Tondano, Sulawesi Utara

Setelah berat harus berpisah dengan Ternate dan segala isinya, akhirnya saya tiba di Manado. Mulai hari ini saya akan ditemani oleh teman baru saya yaitu Mba Maria. Mba Maria ini bekerja di Halmahera Timur (samaan sama Mas Firman di Haltim, abaikan bloggie) dan ikutan trip saya di Manado dan sekitarnya.

Kami tiba di Manado pukul 10 pagi. Sesampainya di Bandara Sam Ratulangi, saya dibuat senang dengan adanya taksi Blue Bird di terminal kedatangan. Akhirnya ada juga bandara yang memudahkan penumpang untuk naik taksi (setelah kisah sedih saya di Bandara Hasanuddin Makassar). Saya dan Mba Maria pun langsung menuju ke Terminal Karombasan untuk mencari bus ke Tomohon. Di dalam taksi, si supir menyarankan kami untuk naik mobil plat hitam saja, mobil sejenis ini sudah lumrah digunakan para penumpang untuk menuju ke Tomohon. Jarak Manado – Tomohon tidak terlalu jauh, kurang lebih tidak sampai 1 jam. Bahkan kalau jalan tidak padat seperti saat kami kesana, Manado – Tomohon bisa ditempuh dalam waktu 45 menit saja. Saya menyetujui saran supir Blue Bird tersebut untuk naik mobil plat hitam menuju Tomohon. Satu orang seharga 15.000. Saran saya memang mending mobil ini saja bloggie dibandingkan dengan naik bus kecil, karena dari segi kenyamanan pasti jauh lebih nyaman jika naik mobil. Harganya pun tidak terlalu mahal. Jadi tips saya adalah, saat sudah naik taksi langsung bilang saja mau ke Tomohon dan minta untuk berhenti di pangkalan mobil plat hitam tujuan Tomohon.

Tomohon merupakan alternatif wisata jika ke Manado. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan udara yang lebih sejuk dibanding Manado, wajar rasanya jika Tomohon menjadi tujuan wisata akhir pekan bagi warga Manado. Dalam perjalanan Manado – Tomohon akan melewati kompleks perumahan elite Citraland, dimana disana dibangun patung Yesus tertinggi di Asia Tenggara. Jika malam tahun baru, jalur Manado – Tomohon maupun sebaliknya akan macet dan bisa sampai 3 jam perjalanan. Saya mulai deg-degan karena besok saya akan kembali ke Manado pada malam tahun baru, semoga saja tidak semacet yang saya bayangkan. Dan karena lelah, saya pun tertidur di dalam mobil. Sebelumnya jangan lupa untuk menyebutkan tempat pemberhentian kita kepada pak supir, karena nanti dia akan menurunkan kita di tempat yang kita mau. Selama di Tomohon, kami akan menginap di Jhoanie Hotel. Ini hotel yang paling direkomendasikan di Tomohon.


Saya sampai di Tomohon jam setengah 12 siang dan langsung diantarkan ke Jhoanie Hotel. Kesan pertama tentang Tomohon adalah sejuk dan hijau karena Tomohon merupakan daerah dataran tinggi. Tomohon berada di kaki Gunung Lokon, terkenal dengan sebutan Kota Bunga. Setahun sekali diadakan Tomohon Flower Festival, ini merupakan event tahunan yang sangat terkenal. Untuk tahun 2015, Tomohon Flower Festival diadakan pada bulan Agustus. Predikat Tomohon sebagai kota bunga bukan tanpa alasan, di sini hampir semua rumah halamannya digunakan sebagai kebun bunga. Kebun bunga di Tomohon dapat ditemukan di sepanjang jalan Kakaskasen, searah dengan jalan menuju hotel. Para penjual bunga pun juga sangat mudah ditemukan di sepanjang jalan raya Manado – Tomohon.

Kebun bunga di halaman warga
Lobby Jhoanie Hotel
Selama di Tomohon, transportasi yang saya gunakan adalah dengan menyewa motor. Di Tomohon sangat jarang dan mungkin tidak ada yang mneyewakan motor secara umum. Saya mendapatkan motor dari pihak Jhoanie Hotel. Langsung nego dengan karyawannya. Saran saya, selama di Tomohon usahakan untuk mendapatkan motor sewaan agar lebih mudah dalam mengeksplore Tomohon. Usaha manajemen Jhoanie Hotel untuk mencarikan saya motor pun layak diacungi jempol. Karena kasihan dengan wajah melas saya dan Mba Maria, pihak hotel sangat gigih mencarikan kami motor matic. Terima kasih Jhoanie Hotel !

Jam setengah 2 siang saya mulai perjalanan. Perjalanan hari ini dimulai dari yang terjauh dahulu. Yaitu Danau Tondano dan Danau Linow. Papan penunjuk arah di Tomohon sangat mudah, sehingga saya tidak perlu berhenti untuk bertanya kepada warga sekitar. Lama perjalanan dari Tomohon menuju Danau Tondano sekitar 45 – 60 menit., itupun karena kami berhenti – berhenti untuk foto.



Jalan menuju Danau Tondano indah banget. Jalanan mulus dengan sawah di kiri kanan, dihiasi dengan background perbukitan dan Gunung Lokon di kejauhan. Saya pun memacu motor dengan perlahan sambil menikmati pemandangan dan menghirup udara yang sangat segar. Dalam perjalanan menuju Danau Tondano akan menemui beberapa rumah dengan model ala-ala di luar negeri. Lengkap dengan cerobong asap, kolam ikan dan jembatan kayu di halamannya. Bahkan ada rumah yang menggunakan kincir angin, sehingga saya merasa tidak sedang di Indonesia. Menurut info yang saya dapatkan, di sana ada rumah yang memenangkan kontes foto yang diadakan instagram.



Puas menikmati pemandangan dan rumah – rumah ala Belanda, saya pun memacu motor saya menuju ke Danau Tondano karena waktu semakin sore dan saya berencana mengunjungi Danau Linow sepulang dari Tondano. Tidak terlalu lama, akhirnya bentangan danau terluas di Sulawesi Utara ini pun mulai terlihat. Yang perlu kita lakukan untuk menikmati pemandangan danau adalah dengan masuk ke restoran atau cafe yang banyak berjejer di sepanjang danau. Semua resto disini menghadap langsung ke Danau Tondano. Resto yang saat itu saya pilih adalah Lour Camp, karena resto ini cukup besar dan menyita perhatian saya. Saat ke Tondano jangan lupa untuk memesan menu spesial ala Tondano, yaitu perkedel nike. Nike adalah ikan endemik dari Danau Tondano. Ikan nike ini semacam ikan teri tapi dengan ukuran yang lebih kecil lagi. Biasa diolah menjadi perkedel.



Sayangnya saat saya kesana, enceng gondok sedang tumbuh banyak di pinggiran danau hingga menutupi areal danau sampai 10 meter, tapi tidak mengurangi keindahan Danau Tondano. Saat di Lour Camp, kami memesan pisang goreng, kentang goreng dan tidak lupa memesan perkedel nike. Sayang sekali saat kesana kami sudah makan sehingga tidak sempat menyicipi mujair bakar khas Tondano yang katanya enak sekali.



Sama seperti di Ternate, pisang goreng disini juga disajikan bersama sambal. Tapi tidak ada yang mengalahkan enaknya pisang mulut bebek di Pantai Sulamadaha, Ternate. Hiks, kangen Ternate ! Mungkin sepulang dari perjalanan ini, saya punya kebiasaan baru yaitu makan pisang goreng dengan sambal. Ok, sekarang saatnya mencicipi perkedel nike. Sepintas bentuknya lebih pantas disebut dengan bakwan nike. Karena menurut saya perkedel itu identik dengan kentang hihihi. Rasanya enak banget bloggie, gurih – gurih crispy. Mungkin jika mau diduplikasi dengan ikan teri rasanya kurang pas, karena setelah saya zoom, ikan nike ini super duper kecil. Ukurannya sekitar 1/3 ikan teri, nah bayangkan lah sekecil apa ikan nike.

Testimoni orang terkenal di Lour Camp
Setelah kenyang ngemil di Lour Camp dan terbuai suasana hingga kami ga sadar sudah mulai kesorean, kami langsung cabut menuju Danau Linow. Arah Danau Tondano dan Linow ini berlawanan, sehingga saya harus kembali lagi ke Tomohon dan kemudian mengambil jalan menuju Kawangkoan. Untuk menuju Danau Linow harus bertanya kepada warga sekitar karena papan penunjuk menuju Linow tidak terlihat selama di Tomohon. Papan penunjuk akan terlihat jika kita sudah memasuki jalan raya Tomohon – Kawangkoan.

Sedikit intermezzo. Satu kebiasaan masyarakat disini yang mulai saya pahami adalah, mereka selalu mengatakan sesuatu secara berlebihan haha. Seperti contohnya saat saya bertanya tentang letak Jhoanie Hotel, orang-orang di dalam mobil mengatakan Jhoanie Hotel itu jauh banget dari pusat kota. Padahal setelah kami mengendarai motor dari hotel menuju jalan raya Tomohon jaraknya tidak sampai 5 menit perjalanan. Yang kedua, saat saya menanyakan arah menuju Danau Linow pada salah satu warga sekitar. Mereka mengatakan Danau Linow itu jauh banget, dari Kawangkoan masih lurus lagi jauh. Tapi buktinya, kami sampai disana dalam waktu setengah jam. Haha,anyway, warga Tomohon baik – baik semua, bloggie. Mereka juga sangat welcome dengan pendatang, mereka sangat baik menjelaskan arah kepada kami. Sekedar saran saja, jangan lupa memberi greetings dahulu sebelum menanyakan arah, dan kalau pakai helm lepas dahulu helmnya supaya lebih sopan. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, horas bah !

Kembali lagi ke topik awal. Dari Tomohon menuju Danau Linow, saya harus mengambil arah menuju Kawangkoan. Nanti lurus saja jangan belok – belok sampai nanti ada papan penunjuk di kiri jalan arah menuju Danau Linow. Awas hati – hati karena papan penunjuk dan jalannya kecil bloggie, seperti jalan perkampungan begitu. Tapi jangan takut salah jalan, karena jika aroma belerang mulai tajam tercium, maka Danau Linow sudah di depan mata. Danau Linow dikenal dengan danau tiga warna. Warna ini terbentuk karena pengaruh kandungan belerang di Danau Linow. Tiga warna yang dimaksud pun tidak terlalu signifikan, hanya terlihat belang – belang saja. Hijau muda, hijau tua, dan terkadang ada warna putih.

Tiket masuk Danau Linow seharga 25.000. Harga yang sepintas cukup mahal bagi backpacker kere macam saya. Tapi tiket tersebut dapat ditukarkan dengan welcome drink berupa kopi atau teh. Karena Danau Linow ini dikelola oleh swasta, maka sarana di sekitar danau sangat terawat. Saya pikir harga segitu rasanya pantas.







Jam 6 sore kami kembali pulang ke Tomohon, karena hari sudah mulai gelap dan mulai gerimis. Selesai sudah perjalanan kami hari ini mengunjung danau – danau yang indah di Tomohon. Semoga besok juga tidak kalah serunya dan saya bisa meihat Gunung Lokon yang seharian ini tertutup kabut tebal.
Senja di Tomohon
Jhoanie Hotel berada di jalan Lingkar Timur, Kakaskasen. Memang, jalan ini bukan merupakan jalan kota. Tapi jarak menuju ke pusat kota Tomohon tidak terlalu jauh, karena saya diberi tahu shortcut oleh pihak hotel. Yang menjadi kendala adalah jalan pintas tersebut gelapnya bukan main saat malam . Saat saya pulang menuju hotel, jalanan super gelap, tidak ada satupun lampu jalan, hanya beberapa rumah saja di sana yang tidak menyumbang cahaya sama sekali. Hingga kami diuji dengan melewati beberapa meter hutan bambu dimana disana total blackout. Lampu jauh motor pun sudah saya pasang, gas juga sudah saya pacu sekuat mungkin. Saya bukan takut begal atau semacamnya, saya takut hantu haha ! Oleh karena itu saya istigfar terus selama melewati jalanan gelap tersebut. Tapi tenang bloggie, Jhoanie Hotel ini benar – benar recommended ! Stafnya ramah dan servisnya memuaskan.

Jhoanie Hotel 
Jl. Lingkar Timur Kakaskasen 3, Tomohon – Sulawesi Utara 95417
Phone : 0431 – 354439
Email : jhoaniehotel@gmail.com
Website : www.jhoaniehotel.com

DAMAGE COST :
*Taksi Bandara – Karombasan : 90.000/2 : 45.000
*Mobil Manado – Tomohon : 15.000
*Hotel : 350.000/2 : 175.000
*Sewa motor : 150.000/2 : 75.000
*Bensin : 30.000/2 : 15.000
*Tiket masuk Danau Linow : 25.000
*Ngemil di Lour Camp : 61.000/2 : 30.500
*Makan malam KFC : 61.000/2 : 30.500
Total : IDR 411.000

15/01/2016

Day 5 : Hari Kedua Explore Ternate, Makin Cinta Ternate !

Hari ini rencananya saya ingin wisata kuliner khas Ternate seperti Popeda (papeda) dan Gohu Ikan alias sashimi ala Ternate, ikan tuna segar dipotong dadu dan dicampur dengan perasan jeruk nipis, kemangi, dan bahan bahan lainnya. Keuntungan menginap di Hotel Boulevard adalah hotel ini letaknya sangat strategis. Terletak di Ruko Jatiland Bussiness Center, hotel ini berhadapan langsung dengan Jatiland Mall. Mall terbesar di Ternate setelah Ternate Mall. Selain Jatiland Mall, hotel ini juga berhadapan dengan masjid terbesar di Ternate, Masjid Al Munawarrah. Dan hotel ini dekat dengan kawasan Tapak, yaitu kawasan wisata kuliner malam hari yang berada di pinggir laut. Selain itu hotel Boulevard juga dekat dengan pasar tradisional, Pasar Higienis Bahari Berkesan. Di sini terdapat warung popeda yang cukup tenar, Warung Gamalama. Jadi, tidak rugi sama sekali menginap di hotel Boulevard. Lokasinya sangat strategis dan aman bagi solo traveler kaya saya.

Jam 11 siang saya keluar dari hotel jalan kaki, rencananya saya mau jalan kaki saja ke Pasar Higienis mau berburu Popeda. Tapi sebelumnya tiba-tiba saya teringat dengan Restoran Floridas yang terkenal dengan viewnya yang langsung ke arah Pulau Maitara. Saya memutuskan untuk nongkrong sebentar disana dulu. Kemudian saya mencari ojek yang bisa mengantarkan saya kesana. Dari hotel menuju resto Floridas cukup jauh, karena resto Floridas berada di jalan menuju Danau Ngade. Saat saya lagi jalan, tiba-tiba ada sesosok kang ojek yang nyamperin saya sambil menunjukkan jempolnya (isyarat ala kang ojek kalo nawarin tumpangan). Saya liatin dari atas sampe bawah sosok kang ojek ini karena saya sedikit ga yakin dengan perawakannya yang rapi abis gini masa sih tukang ojek. Udah gitu saya menangkap aura kegantengan dibalik helmnya, mirip mirip Ernest Prakasa tapi ini versi pribumi, “Ini ga mungkin tukang ojek” batin saya.

“Mas tukang ojek ?” Sumpah ini pertanyaan bodoh #LOL
“Iya mba, mau kemana ?” Wuanjriiit, high quality kang ojek ini mah namanya 
“Resto Floridas, mas. Tau ga ?” 
“Ahh iya tahu kok mba, mari saya antar” Duh sopan banget.
“Berapa ?” 
“50 ribu ya mba ? Agak jauh soalnya” 
“Iya mas, tapi tungguin saya yah. Saya mau makan bentar disana” 
“Iya mba”

Naiklah saya di boncengan tukang ojek ini, wangi abis. Matih, gugup abis nih diboncengin #dikeplak. Dan sejak saat itu, fix maksimal saya jadi fans Ernest Prakasa karena mengingatkan saya sama kang ojek Ternate yang fenomenal ini.

Wangi....
Gunung Gamalama di depan mata
Akhirnya sampailah saya di bangunan yang kelihatannya lagi direnovasi. Yah, ternyata Restoran Floridas lagi direnovasi. Gagal deh nongkrong sambil ngeliatin Pulau Maitara.
 “Mba tadinya mau makan disini ?” 
“Mau foto aja sih, Mas” 
“Yasudah, mari saya anter masuk aja, biar mba bisa foto” Aaaakkk baiknyaaaa !! #menggelepar
Akhirnya berkat kemachoan di kang ojek ini saya berhasil masuk ke restoran Floridas yang lagi direnovasi ini. Dan seandainya lagi ga direnovasi, ini tempat kece. Bisa liat laut lepas dan Pulau Maitara di tengahnya.

Pulau Maitara
Diambil dari Restoran Floridas
Setelah puas menjepret, saya keluar bersama tukang ojek.
 “Abis ini mau kemana lagi ? Mari saya antar” 
Tanpa mikir panjang lagi “Hari ini saya booking ya mas” 
“Bisa, bisa mba. Seharian sama saya mba”
Waseeeekkk #menggelepar

Kemudian tanpa basa basi saya langsung menunjukkan foto di instagram yang memperlihatkan view Pulau Maitara dan Danau Ngade dalam 1 frame. Saya ingin diantar kesana. Kemudian si mas ojek ini mencoba menganalisa dimana posisi pengambilan fotonya. Dan dia bersedia mengantarkan saya menuju view point Danau Ngade dan Pulau Maitara. Dalam perjalanan kami ngobrol dan barulah saya tahu kalau ternyata mas ojek ini bukan orang Ternate, melainkan orang Padang yang pindah ke Jakarta kemudian pindah ke Halmahera Timur. Keliatan sih dari awal dari logatnya yang tidak terlalu kental aksen timurnya. 

“Saya Firman” 
“Ohh, saya Ami” 

Ngojek di Ternate ini hanya mengisi waktu luang, dia kerja di PT. Antam (Aneka Tambang) di Halmahera Timur. Pantesan, dia mah bukan potongan tukang ojek. Too good to be “kang ojek”. Sambil ngobrol ngobrol, saya celingukan mencari view point yang kira-kira pas dengan foto di instagram. Dan mata saya tertuju ke sebuah reruntuhan rumah yang terbengkalai. Kami pun berhenti disana. Untuk menuju view point Danau Ngade, kalian harus masuk ke dalam gang yang berada di sebelah Danau Ngade, jalannya nanti akan menanjak. Ikuti saja terus sampai nanti kiranya menemukan tanah lapang untuk melihat view Danau Ngade dan Pulau Maitara. Karena tidak ada papan penunjuk, jadinya kita harus peka sendiri menentukan view pointnya.


Ternyata benar, disini pemandangannya hacep abis alias pecah abis. Saya jadi malas untuk beranjak turun. Seandainya bawa nasi bungkus, saya mau mau aja makan di sini sambil menikmati pemandangan.
Danau Ngade dan Pulau Maitara di kejauhan
Numpang mejeng dulu authornya
Karena sudah menunjukkan jam makan siang, saya pun terpaksa turun dan minta diantarkan ke warung makan yang menyediakan popeda. Saya sih hanya ingin coba-coba aja, kalau nanti ga doyan baru cari nasi campur untuk makan siang. Wajib hukumnya makan popeda kalau ke Ternate.


Dalam perjalanan, kami melewati sebuah tanah kosong yang sedikit menjorok ke arah laut. Dan dengan inisiatifnya Mas Firman memberhentikan motor disana, “Disini bagus buat foto-foto mba”. Fix, Mas Firman ini kang ojek yang informatif dan aktif. Saya pun segera turun dari motor dan segera foto-foto seperti saran dari Mas Firman.


Di Ternate, orang-orang terbiasa untuk hidup tanpa beras. Banyaknya pengganti nasi sebagai makanan pokok membuat mereka tidak ketergantungan dengan nasi. Contohnya saja popeda yang bahan bakunya berupa tepung sagu, kemudian ada singkong dan ubi rebus. Beda dengan saya, yang harus ditubruk nasi dulu baru bisa dikatakan makan.

Pelabuhan barang Ternate
Tempat yang terkenal menyajikan popeda berada di bagian belakang Pasar Higienis, Ternate. Disini akan ada satu gang yang isinya warung popeda. Dan ketika jam makan siang, bakal dipenuhi orang-orang.




Akhirnya kami sampai di komplek warung popeda, dan benar saja semua warung penuh. Dan Mas Firman benar benar selektif memilihkan warung popeda untuk saya. Ketika ditawari untuk sharing meja dengan pengunjung lain, mas Firman menolak dan berusaha mencarikan warung popeda untuk saya. Good service !!. Setelah tidak begitu lama, kami dapat meja di sebuah warung. Saya pun mengajak Mas Firman untuk ikut makan bersama saya, karena saya tidak tahu cara makan popeda dan butuh guide hahaha ! (serius ini bukan modus) 


Di sebuah meja panjang, terhidang piring-piring kecil dengan berbagai jenis makanan. Seperti kondimen di Korea, piring-piring tersebut adalah makanan pendamping untuk makan popeda. Ada ikan kuning, pisang rebus, singkong rebus, daun pepaya, sambel kacang, sambel dabu-dabu dan beberapa makanan lain yang saya ga tau itu apaan. Sistemnya disini all you can eat, satu orang 30.000. Cukup murah bukan ? Makin cinta sama Ternate !

Makan popeda ditemenin Mas Firman, yeah

Karedok ala Ternate, enak banget
Untuk makan popeda dilengkapi dengan kuah. Ada 3 jenis kuah yang disediakan, kuah kuning, kuah asam, dan satu lagi saya lupa nama kuahnya. Saya memilih menggunakan kuah kuning. Kemudian cara memindahkan popeda ke piring adalah dengan menggunakan sumpit dengan cara diputar putar kemudian dipindahkan ke piring.

Lagi memperagakan cara memindahkan popeda ke piring
Awalnya saya hanya mengambil sedikit popeda ke piring saya, karena takut nanti ga doyan. Akhirnya saya menyuapkan suapan pertama ke mulut saya. Dan, beyond expectation ! Rasanya sumpah enak banget, rasanya light di mulut. Kuah kuning yang menjadi pilihan saya pun sangat segar, papeda dan kuah kuning rasanya langsung meluncur ke tenggorokan saya. Kemudian tidak ragu lagi saya mengambil popeda lebih banyak ke piring . Sampai akhirnya saya habis hingga 2 piring. Saya sendiri pun masih belum percaya, saya doyan popeda ! Mas Firman mengajarkan saya untuk mencampur makanan di meja dengan popeda, pilihan saya tertuju kepada seonggok pisang rebus. Dan voila, jadilah kombinasi absurd, ikan kuah kuning, popeda, dan pisang rebus dalam satu piring. Rasanya enak-enak aja, saya ga merasa aneh.

Perpaduan popeda, pisang rebus, ikan kuah kuning. Enak
Resmi sudah saya jadi orang Ternate, saya sudah makan popeda hahaha. Tapi sayangnya saya belum berkesempatan mencicipi gohu ikan. Karena hidangan ini sedikit susah ditemukan dijual, kalau mau mencobanya harus minta dibuatkan oleh warga setempat. Ahh ga masalah, berarti nanti akan ada kunjungan ke Ternate kedua haha !


Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kedaton Sultan Ternate. Usut punya usut ternyata Mas Firman ini juga belum pernah ke Kedaton, jadinya ini adalah kali pertama kami mengunjungi Kedaton Sultan Ternate. Sambil mencari-cari pintu masuknya, sampailah kami di sebuah gerbang yang dijaga oleh 2 orang, saat ditanya buka atau tidak, ternyata jawabannya buka. Yeay ! Lucky me ! Soalnya, Kedaton ini hanya dibuka saat-saat tertentu saja. Ketika ada Sultan, kedaton tidak boleh dimasuki umum karena digunakan sebagai tempat tinggal raja. Namun jika Sultan sedang tidak ada di rumah maka boleh dibuka untuk umum, itupun hanya hari tertentu saja.

Pintu masuk Kedaton Ternate


Untuk masuk ke dalam Kedaton harus lewat belakang, tidak boleh lewat dari depan. Karena pintunya dikunci. Nanti dibelakang kita akan bertemu dengan juru kuncinya, tinggal bilang saja mau lihat-lihat nanti akan dipersilakan masuk. Sebelum masuk, kita harus melepas alas kaki terlebih dahulu, kemudian si bapak juru kunci akan komat kamit di depan pintu sebelum pintu dibuka. Jangan lupa ucapan “Assalamualaikum” atau “Permisi”

Sejak Sultan Ternate ke 48, Mudaffar Sjah meninggal, maka belum ada yang menggantikan posisi Sultan Ternate sampai sekarang, sehingga kedudukan Sultan masih kosong. Oleh karena itu ini merupakan saat yang tepat untuk mengunjungi Kedaton Ternate, karena belum ditempati oleh Sultan. Karena nanti jika sudah ada Sultan, maka rumah ini akan menjadi tempat tinggal beliau dan akan ditutup untuk umum. Konon katanya, di Kedaton tersimpan sebuah mahkota milik Sultan dari jaman dahulu yang memiliki rambut, dan rambut itu dapat tumbuh. Rambut yang tumbuh hanya dapat dipotong pada saat tertentu saja.



Kalau bendera kuningnya diturunkan berarti Sultan tidak berada di Kedaton
Penghargaan dari MURI

Bule aja datang ke Kedaton
Karena areal yang terbuka untuk umum terbatas, maka kami tidak terlalu lama di dalam sana. Kami pun pamit undur diri kepada juru kunci setelah sebelumnya memberi infaq seikhlasnya di tempat yang telah disediakan. Kemudian Mas Firman mengantarkan saya kembali ke hotel, sedih rasanya harus berpisah. Toh saya sudah mengelilingi Ternate, ga tau harus kemana lagi. Sesampainya di depan hotel, mas Firman bilang,”Nanti malam kalau mau keluar telpon aja yah ? Udah satu paket untuk hari ini, dan besok pun dianter ke bandara juga udah sepaket sama hari ini” HUAPAAAHH !! Dibanding Pak Oslan kemarin yang cuma muter doang trus malemnya saya ditelantarin, sedangkan ini paketnya sampe besok. Seneng banget saya hahaha ! #menggelepar. Dan saya pun buat janji sama Mas Firman kalau malam ini saya minta ditemenin makan di daerah Tapak. Yes sip !

Bobok siang
Jam 7 malam saya dijemput Mas Firman, dan masih sama dengan wanginya yang khas menyambut saya di motor #menggelepar. “Jalan-jalan dulu ya, liat Ternate malam hari”, mas Firman ngajak keliling-keliling dulu sebelum makan di Tapak. Sekalian cari oleh-oleh makanan khas Ternate untuk upeti orang rumah biar dibukain pintu.


Siluet Gunung Gamalama di malam hari.
Malam itu saya diajak keliling melihat Ternate di malam hari. Mas Firman menjelaskan tentang jalan di kota Ternate yang mudah banget dan ga akan membuat orang tersesat. Karena saking kecil kotanya, maka dalam seminggu saja pasti bisa hafal jalanan. Dalam perjalanan keliling-keliling, saya di Whatsapp bapak yang titip minta dibawakan batu halmahera hijau. Oh my God, akik.

“Mas, kalo malem masih ada yang buka ga ya toko batu ?” 
“Mau beli batu ya ?” –bukan, mau beli pepes-
“Iya, batu halmahera. Aduh aku ga ngerti hahaha” 
“Ahh gampang, nanti biar saya yang pilihin yang bagus”
Gila, ini mah kang ojek gadungan serba bisa, jadi guide oke, jadi temen ngobrol oke, jadi tukang batu akik pun oke. High quality ini mah !

Batu bacan yang dipegang itu seharga 700 ribu
Mas Firman asik milih batu
"Yak, tembus senternya ya om !" kalimat si mamang batu

Sepintas kaya sampel marmer di kantor
Dari satu lapak ke lapak yang lain. Nawar sana nawar sini, nyenter sana nyenter sini. Ternyata emang ribet milih batu yah. Ampun deh. Dan tadi waktu milih batu sempet dikira istrinya hahaha ! Ahh lupakan, bloggie hahaha ! #menggelepar. Akhirnya dapatlah 3 bongkah batu untuk bapak sebagai oleh-oleh. Batu berkualitas kece, yang udah dipilih Mas Firman dengan susah payah. Setelah mendapatkan oleh-oleh batu dan kue khas Ternate, bagea dan makron (kue dari sagu dengan rempah-rempah) kami menuju ke kawasan Tapak untuk makan malam. Kawasan Tapak sering disebut dengan Swering.
Nasi goreng ternate dilengkapi dengan ikan cakalang, enak !
Air Goraka
Kami ngobrol panjang lebar ditemani air goraka dan pisang mulut bebek. Air goraka mirip seperti bajigur kemudian ditaburi kenari cincang diatasnya, lumayan enak. Kemudian pisang mulut bebek disini cukup berbeda dengan yang di Sulamadaha, karena pelengkapnya selain sambal ada ikan teri dan kacang goreng (tau gitu saya pesan nasi putih saja, hahaha)

Di Ternate, makin malam makin rame. Saya pikir ini kota kecil yang udik dan ga akrab dengan dunia malam. Tapi buktinya sudah jam 12 malam malah semakin ramai, kursi-kursi di sebelah kami yang tadinya kosong mulai terisi penuh. Jika saya tidak ingat kalau besok harus melanjutkan perjalanan ke Manado dengan flight pagi jam 9, saya bisa ngobrol sampai pagi dengan Mas Firman. Akhirnya jam setengah 1 kami pulang, mas Firman mengantarkan saya sampai ke hotel.

Repacking
Terima kasih Ternate untuk semua keramah tamahannya. Salah satu kota yang menurut saya ramah dengan pendatang. Saya merasa seperti di rumah sendiri. Kalau saja saya tidak bekerja di bidang yang membutuhkan pembangunan, saya pasti sudah hijrah ke Ternate. Sempat terlintas untuk kerja di NGO saja haha, ahh entahlah. Ternate terlalu indah untuk ditinggalkan. Terima kasih untuk Mas Firman yang udah nemenin saya seharian jalan-jalan, andai saja ketemu Mas Firman di hari pertama saya sampai Ternate. Terima kasih sudah jadi guide, teman ngobrol, sudah mengantarkan kemana-mana. Two thumbs up ! Servis yang memuaskan sekali, semoga rejekinya makin banyak, Aamiin. Siapa tau bloggie ke Ternate, bisa hubungin Mas Firman di nomor 081219100100. Siapa tau mas Firman lagi di Ternate dan bisa handle tamu. Tapi kalau mas Firman lagi di Halmahera Timur berarti ga jodoh, kalau mau ketemu samperin aja ke Maba, Halmahera Timur. Alternatif lain call saja Pak Oslan, ojek saya di hari pertama di nomor 082227175836.

DAMAGE COST :
*Makan popeda : 30.000
*Makan malam di Tapak : 75.000
*Ojek Mas Firman : 200.000
*Infaq Kedaton Ternate : 20.000
Total : IDR 325.000