Note : Postingan mengandung disturbing picture. Bagi yang sedang makan, harap diselesaikan dulu makannya baru dilanjut baca. Terima kasih.
Hari ini kami berusaha untuk keluar hotel sepagi mungkin karena objek wisata yang ingin kami datangi cukup banyak. Jam 7 kami sudah selesai sarapan di hotel, tapi sayangnya hujan turun lumayan deras pagi itu. Hawanya jadi sangat sejuk, kabut turun, sejauh mata memandang hijau hijau dan hijau. Bawaannya pengen naik lagi ke kamar dan tidur haha !
Sejuk |
Setelah hujan lumayan tidak terlalu deras, kami langsung keluar menerobos hujan supaya tidak kesiangan. Destinasi pertama pagi ini adalah Pasar Beriman Tomohon. Pernah dengar kiasan "Semua yang berkaki di Manado dimakan, kecuali kaki meja” ? Yes, di pasar inilah jawabannya. Pasar Beriman terkenal dengan sebutan pasar ekstrim dimana dijual aneka macam binatang yang cukup ekstrim bagi yang belum pernah melihatnya. Antara lain tikus, anjing, kucing, kelelawar, dan ular. Mungkin anjing di beberapa daerah cukup familiar, saya pun juga merasa familiar dengan sajian anjing. Tapi cara menjajakan hewan – hewan tersebut belum pernah saya lihat sebelumnya. Sudah bukan merupakan potongan – potongan daging yang siap jual, melainkan masih utuh seperti bentuk aslinya dengan warna gosong, efek pembakaran untuk merontokkan bulu. Bagi yang ga kuat liat gambar – gambar yang lumayan ekstrim atau yang lagi makan, bisa langsung dikebut scroll kebawahnya yah. Biar ga sengaja terlihat foto – fotonya.
Sesampainya di Pasar Beriman, kami langsung memarkirkan motor dan menuju ke los penjual daging. Awalnya saya masih rada jiper, tapi karena ditemani Mba Maria saya mencoba untuk tegar dan bertekad ini adalah pertama dan terakhir kalinya saya berkunjung ke Pasar Beriman. Saya sih tidak menganggap jijik daging – daging yang dijual di pasar ini, karena nantinya juga akan dikonsumsi oleh warga sekitar, ga etis rasanya jijik dengan makanan seseorang. Saya hanya shock karena tidak pernah melihat hal ini sebelumnya. Saya masih tetap menghargai pilihan mereka untuk mengkonsumsi daging – daging tersebut. Sip ! Intinya saling menghargai saja ya teman – teman.
Memasuki area los daging, tanah yang saya pijak mulai terlihat semu – semu merah seperti tercampur dengan darah. Bau anyir juga mulai tercium. Fyi, saya benci bau daging. Kalau ke pasar nemenin mumichtu saja kadang saya tidak mau masuk ke area daging. Tapi saya sok kuat berhubung ada yang nemenin haha ! Dari kejauhan mulailah terlihat tumpukan hewan – hewan tersebut dalam keadaan gosong di atas meja jualan, siap dijual. Beserta mamang – mamang daging dengan pakaiannya yang berlumur darah. Kemudian tanah yang saya pijak semakin banyak darah yang menggenang. Bagi yang ga kuat saya sarankan jangan masuk ke pasar ini, takutnya pingsan.
Di Solo, daging babi merupakan hal yang wajar dijual di pasar. Tapi yang membuat saya agak kaget dengan babi yang dijual di pasar ini adalah, babinya masih utuh dan fresh dengan darah masih mengalir dari lubang – lubang tubuhnya. Sayangnya, saat saya kesana saya tidak melihat ular, karena katanya ular hanya dijual saat weekend saja.
Kami tidak menghabiskan waktu lama di Pasar Beriman, saya juga takut baju saya terciprat darah dari penjagal yang sedang memotong – motong daging disana. Saya benci darah, darah apapun. Datang ke pasar ini merupakan sebuah pencapaian yang hebat. Yeay !
Destinasi selanjutnya adalah mengunjung kompleks rumah panggung kayu di Woloan. Jaraknya dari Tomohon tidak jauh, sekitar setengah jam perjalanan. Saya pikir di Woloan ini sama seperti di Kete Kesu, Toraja, rumah – rumah adat yang dijadikan objek wisata. Ternyata Woloan merupakan pusat pengrajin rumah kayu khas Minahasa, sehingga rumah – rumah tersebut untuk dijual bukan merupakan objek wisata. Rumahnya sendiri “sangat Minahasa”, saya suka dengan modelnya dan ingin rasanya punya rumah panggung seperti itu. Walaupun bukan objek wisata, tapi tidak ada salahnya untuk berkunjung kemari.
Tidak banyak yang dapat kami lakukan selama di Woloan selain foto – foto. Rumahnya cakep, dan ada yang menggunakan sistem knock down sehingga rumahnya dapat dibongkar pasang. Sayangnya waktu saya kesana tidak ada orang yang bisa ditanyain, sehingga saya kurang dapat menggali informasi mengenai rumah panggung Woloan ini.
Selanjutnya kami menuju kompleks kuburan batu yang bernama Taman Waruga di Desa Sawangan, Air Madidi, Minahasa Utara. Jika selama ini saya selalu meremehkan peringatan dari warga sekitar yang mengatakan “jauh banget”, kali ini saya harus mempercayainya. Jarak dari Tomohon menuju Air Madidi lumayan membuat pantat saya pegal selama di motor. Medan yang kami lalui pun cukup menantang, kelokan – kelokan tajam, jalan yang naik dan turun. Sampai terkadang Mba Maria berteriak dari boncengan “Gas... ! Gas... !” takut kalau motornya ga kuat nanjak kali ya haha ! Tapi untungnya performa dari motor sewaan Jhoanie Hotel ini mantap banget.
Perjalanan dari Tomohon menuju Air Madidi harus melewati beberapa daerah, antara lain Tondano dan Tonsea Lama. Saat di perjalanan, saya melihat ada situs goa jepang di pinggir jalan, sayang sekali saat itu tidak ada yang menjaga, kalau ada yang jaga saya rasanya ingin masuk. Walaupun dari luar terlihat seram, saya merasa sedikit tertantang. Perjalanan menuju Air Madidi didominasi hutan dan jurang, sehingga jarang saya melewati pemukiman yang padat. Yang unik, di pinggir jalan banyak saung kecil yang menjajakan air di dalam botol – botol kaca. Ternyata air tersebut adalah minuman keras khas Manado yang sering disebut dengan Cap Tikus. Konon katanya asal mula penamaan Cap Tikus adalah, minuman keras ini dibuat di dalam hutan dan selama proses pembuatan, tikus merupakan makanan bagi para pembuatnya. Entahlah hahaha. Tapi yang jelas, Cap Tikus ini mulai banyak dilarang di beberapa daerah karena sering digunakan untuk mabuk – mabukkan dan menimbulkan onar. Mau mencicipi Cap Tikus ? Bloggie bisa beli di lapak-lapak sepanjang jalan Tonsea Lama – Air Madidi.
Akhirnya setelah satu setengah jam perjalanan yang cukup membuat pantat pegal dan tangan saya pegal karena sering main rem mengimbangi jalan yang berkelok – kelok dan naik turun. Kami pun tiba di Desa Sawangan, tempat situs megalitikum Waruga, kuburan batu leluhur orang Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah, dengan rongga di bagian tengahnya untuk memasukkan mayat.
Sesampainya di Pasar Beriman, kami langsung memarkirkan motor dan menuju ke los penjual daging. Awalnya saya masih rada jiper, tapi karena ditemani Mba Maria saya mencoba untuk tegar dan bertekad ini adalah pertama dan terakhir kalinya saya berkunjung ke Pasar Beriman. Saya sih tidak menganggap jijik daging – daging yang dijual di pasar ini, karena nantinya juga akan dikonsumsi oleh warga sekitar, ga etis rasanya jijik dengan makanan seseorang. Saya hanya shock karena tidak pernah melihat hal ini sebelumnya. Saya masih tetap menghargai pilihan mereka untuk mengkonsumsi daging – daging tersebut. Sip ! Intinya saling menghargai saja ya teman – teman.
Memasuki area los daging, tanah yang saya pijak mulai terlihat semu – semu merah seperti tercampur dengan darah. Bau anyir juga mulai tercium. Fyi, saya benci bau daging. Kalau ke pasar nemenin mumichtu saja kadang saya tidak mau masuk ke area daging. Tapi saya sok kuat berhubung ada yang nemenin haha ! Dari kejauhan mulailah terlihat tumpukan hewan – hewan tersebut dalam keadaan gosong di atas meja jualan, siap dijual. Beserta mamang – mamang daging dengan pakaiannya yang berlumur darah. Kemudian tanah yang saya pijak semakin banyak darah yang menggenang. Bagi yang ga kuat saya sarankan jangan masuk ke pasar ini, takutnya pingsan.
Di Solo, daging babi merupakan hal yang wajar dijual di pasar. Tapi yang membuat saya agak kaget dengan babi yang dijual di pasar ini adalah, babinya masih utuh dan fresh dengan darah masih mengalir dari lubang – lubang tubuhnya. Sayangnya, saat saya kesana saya tidak melihat ular, karena katanya ular hanya dijual saat weekend saja.
Kami tidak menghabiskan waktu lama di Pasar Beriman, saya juga takut baju saya terciprat darah dari penjagal yang sedang memotong – motong daging disana. Saya benci darah, darah apapun. Datang ke pasar ini merupakan sebuah pencapaian yang hebat. Yeay !
Destinasi selanjutnya adalah mengunjung kompleks rumah panggung kayu di Woloan. Jaraknya dari Tomohon tidak jauh, sekitar setengah jam perjalanan. Saya pikir di Woloan ini sama seperti di Kete Kesu, Toraja, rumah – rumah adat yang dijadikan objek wisata. Ternyata Woloan merupakan pusat pengrajin rumah kayu khas Minahasa, sehingga rumah – rumah tersebut untuk dijual bukan merupakan objek wisata. Rumahnya sendiri “sangat Minahasa”, saya suka dengan modelnya dan ingin rasanya punya rumah panggung seperti itu. Walaupun bukan objek wisata, tapi tidak ada salahnya untuk berkunjung kemari.
Rumah panggung kayu di sepanjang jalan |
Tidak banyak yang dapat kami lakukan selama di Woloan selain foto – foto. Rumahnya cakep, dan ada yang menggunakan sistem knock down sehingga rumahnya dapat dibongkar pasang. Sayangnya waktu saya kesana tidak ada orang yang bisa ditanyain, sehingga saya kurang dapat menggali informasi mengenai rumah panggung Woloan ini.
Selanjutnya kami menuju kompleks kuburan batu yang bernama Taman Waruga di Desa Sawangan, Air Madidi, Minahasa Utara. Jika selama ini saya selalu meremehkan peringatan dari warga sekitar yang mengatakan “jauh banget”, kali ini saya harus mempercayainya. Jarak dari Tomohon menuju Air Madidi lumayan membuat pantat saya pegal selama di motor. Medan yang kami lalui pun cukup menantang, kelokan – kelokan tajam, jalan yang naik dan turun. Sampai terkadang Mba Maria berteriak dari boncengan “Gas... ! Gas... !” takut kalau motornya ga kuat nanjak kali ya haha ! Tapi untungnya performa dari motor sewaan Jhoanie Hotel ini mantap banget.
Perjalanan dari Tomohon menuju Air Madidi harus melewati beberapa daerah, antara lain Tondano dan Tonsea Lama. Saat di perjalanan, saya melihat ada situs goa jepang di pinggir jalan, sayang sekali saat itu tidak ada yang menjaga, kalau ada yang jaga saya rasanya ingin masuk. Walaupun dari luar terlihat seram, saya merasa sedikit tertantang. Perjalanan menuju Air Madidi didominasi hutan dan jurang, sehingga jarang saya melewati pemukiman yang padat. Yang unik, di pinggir jalan banyak saung kecil yang menjajakan air di dalam botol – botol kaca. Ternyata air tersebut adalah minuman keras khas Manado yang sering disebut dengan Cap Tikus. Konon katanya asal mula penamaan Cap Tikus adalah, minuman keras ini dibuat di dalam hutan dan selama proses pembuatan, tikus merupakan makanan bagi para pembuatnya. Entahlah hahaha. Tapi yang jelas, Cap Tikus ini mulai banyak dilarang di beberapa daerah karena sering digunakan untuk mabuk – mabukkan dan menimbulkan onar. Mau mencicipi Cap Tikus ? Bloggie bisa beli di lapak-lapak sepanjang jalan Tonsea Lama – Air Madidi.
Akhirnya setelah satu setengah jam perjalanan yang cukup membuat pantat pegal dan tangan saya pegal karena sering main rem mengimbangi jalan yang berkelok – kelok dan naik turun. Kami pun tiba di Desa Sawangan, tempat situs megalitikum Waruga, kuburan batu leluhur orang Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah, dengan rongga di bagian tengahnya untuk memasukkan mayat.
Relief tentang kuburan Waruga |
Posisi mayat di dalam Waruga yaitu duduk menunduk, dahi menempel di lutut seperti janin. Posisi ini menunjukkan keadaan manusia saat lahir maupun meninggal harus sama. Selain itu, mayat juga harus menghadap ke utara yang menandakan nenek moyang suku Minahasa berasal dari utara (jangan – jangan Filipina ?). Ukiran yang terdapat di Waruga pun menggambarkan profesi mayat tersebut saat hidup. Seperti contohnya jika ukirannya berupa binatang, berarti semasa hidupnya si mayat berprofesi sebagai pemburu. Saat ini kuburan Waruga sudah tidak ada isinya lagi, karena pada abad ke 9 sudah dilarang penguburan sistem Waruga ini karena takutnya akan menyebarkan virus kolera yang berasal dari mayat. Selain itu, masuknya agama kristen yang mengajarkan bahwa mayat harus dikubur di dalam tanah. Jika berjalan – jalan ke Manado, sempatkan untuk berkunjung ke kompleks kuburan batu Waruga ini. Karena Waruga merupakan situs yang dilestarikan oleh UNESCO.
Tujuan terakhir hari ini, sebelum kami cek out dari hotel dan kembali ke Manado adalah Bukit Doa Tomohon yang letaknya persis di depan Jhoanie Hotel. Sebenarnya kami ingin menyempatkan untuk berfoto di kebun bunga Tomohon yang sangat ikonik di instagram, namun apa daya, ternyata bunga – bunga sudah dipanen habis menjelang Natal dan Tahun Baru sehingga tak tersisa sedikit pun untuk kami foto- foto.
Bukit Doa Tomohon merupakan wisata religi bagi umat nasrani. Dimana disana menyediakan rute jalan salib, gua maria, dan chapel di puncaknya. Saya kesana ingin menikmati suasana Bukit Doa yang hijau dan asri. Serta ingin melihat kota Tomohon dari atas, karena rute jalan salib yang disediakan di Bukit Doa Tomohon ini menanjak tinggi banget. Selain itu, Bukit Doa Tomohon berhadapan langsung dengan Gunung Lokon. Impian saya melihat Gunung Lokon selama di Tomohon belum terkabul, kabut selalu menutupi kegagahan gunung itu. Bagi yang tidak kuat mengikuti rute jalan salib yang menanjak, kalian bisa langsung menuju puncak dimana terletak chapel Bukit Doa Tomohon dengan naik kendaraan bermotor, tentunya melalui jalan yang berbeda. Jadi disediakan 2 alternatif menuju puncak, yaitu mengikuti rute jalan salib atau langsung dengan kendaraan bermotor. Karena saya penyuka tantangan dan saya penasaran dengan jalan salib, saya pun mengikuti rute jalan salib. Sebelumnya, sudah diwanti – wanti dengan penjaga pintu masuk bahwa kalau merasa capek, jangan berjalan turun karena ini one way bukan untuk 2 arah. Karena kalau kita turun di tengah perjalanan, maka akan merusak esensi jalan salib. Baiklah, cus !
Tiket masuk Bukit Doa Tomohon seharga 15 ribu/orang. Pastikan membawa air minum ya bloggie selama mengikuti jalur jalan salib, percayalah, kalian nanti akan membutuhkan itu hahaha !
Setelah disambut salib besar berwarna merah, kita ikuti saja terus jalur yang disediakan. Awalnya jalur masih landai, dan makin lama makin nanjak serta tanaman pun semakin rimbun. Di rute jalan salib terdapat 14 pemberhentian / stasi. Dimana di setiap pemberhentian ada diorama yang menceritakan kisah di setiap pemberhentian.
Setelah naik sampai ke pemberhentiaan terakhir maka kita akan memasuki sebuah lorong yang gelap, dimana disana banyak kelelawar, agak sedikit mengerikan. Karena saking gelapnya, maka saya mengeluarkan senter hp saya sebagai alat bantu penerangan. Setelah keluar lorong, kita akan disambut Gua Maria, kemudian kita bisa melanjutkan ke chapel sambil menikmati pemandangan Gunung Lokon di depan kita.
Bukit Doa Tomohon merupakan wisata religi bagi umat nasrani. Dimana disana menyediakan rute jalan salib, gua maria, dan chapel di puncaknya. Saya kesana ingin menikmati suasana Bukit Doa yang hijau dan asri. Serta ingin melihat kota Tomohon dari atas, karena rute jalan salib yang disediakan di Bukit Doa Tomohon ini menanjak tinggi banget. Selain itu, Bukit Doa Tomohon berhadapan langsung dengan Gunung Lokon. Impian saya melihat Gunung Lokon selama di Tomohon belum terkabul, kabut selalu menutupi kegagahan gunung itu. Bagi yang tidak kuat mengikuti rute jalan salib yang menanjak, kalian bisa langsung menuju puncak dimana terletak chapel Bukit Doa Tomohon dengan naik kendaraan bermotor, tentunya melalui jalan yang berbeda. Jadi disediakan 2 alternatif menuju puncak, yaitu mengikuti rute jalan salib atau langsung dengan kendaraan bermotor. Karena saya penyuka tantangan dan saya penasaran dengan jalan salib, saya pun mengikuti rute jalan salib. Sebelumnya, sudah diwanti – wanti dengan penjaga pintu masuk bahwa kalau merasa capek, jangan berjalan turun karena ini one way bukan untuk 2 arah. Karena kalau kita turun di tengah perjalanan, maka akan merusak esensi jalan salib. Baiklah, cus !
Salib merah besar menyambut kita |
Setelah disambut salib besar berwarna merah, kita ikuti saja terus jalur yang disediakan. Awalnya jalur masih landai, dan makin lama makin nanjak serta tanaman pun semakin rimbun. Di rute jalan salib terdapat 14 pemberhentian / stasi. Dimana di setiap pemberhentian ada diorama yang menceritakan kisah di setiap pemberhentian.
Diorama |
Tanaman rimbun |
Sekali lagi, sayangnya kabut mendung menutupi langit Tomohon siang itu. Gunung Lokon yang gagah tidak kelihatan sama sekali bloggie. Sedih banget, 2 hari di Tomohon gagal melihat Gunung Lokon.
Selesai menikmati pemandangan dari Bukit Doa, kami segera kembali ke hotel dan bersiap – siap untuk pulang ke Manado. Sulitnya mencari transportasi untuk pulang ke Manado kami rasakan pada saat malam tahun baru. Mobil – mobil plat hitam banyak yang berhenti beroperasi dan sebagian besar sudah dicharter oleh tamu – tamu dari luar kota. Namun sekali lagi saya berterima kasih kepada pihak Jhoanie Hotel yang bersungguh – sungguh mencarikan kami mobil untuk ke Manado. Terima kasih Jhoanie Hotel ! Dan Alhamdulillah macet yang saya takutkan dalam perjalanan Tomohon – Manado pun tidak terbukti, karena walaupun padat, jalanan cukup lancar.
DAMAGE COST :
*Makan siang : 27.000DAMAGE COST :
*Tiket masuk Bukit Doa Tomohon : 15.000
*Mobil Tomohon – Manado : 200.000/2 : 100.000
Total : 142.000
No comments:
Post a Comment