15/01/2016

Day 2 (Part III) : Merinding Di Londa, Kedinginan Di Batutumonga

Pada saat saya keluar parkiran Kete Kesu, kemacetan yang panjang sudah terlihat. Memang jalan utama di Sangalla ini tidak terlalu lebar. Sehingga wajar rasanya jika macet jika jumlah wisatawan yang berkunjung membludak. Selain jalan yang sempit, banyak juga jalanan yang berlubang. Kalau hujan lumayan membahayakan karena lubangnya bakal tertutup sama genangan air. 

Tujuan saya selanjutnya adalah Londa. Londa merupakan kompleks makam di tebing batu yang tinggi, dan dibawahnya juga terdapat gua dimana masyarakat hanya meletakkan begitu saja mayat beserta petinya di dalam gua, tanpa dikubur. Perjalanan dari Kete Kesu menuju Londa tidak terlalu jauh, dari arah Kete Kesu ambil ke arah Makale. Rata-rata objek wisata di Toraja berada di jalan poros Rantepao – Makale. Papan penunjuk jalannya pun cukup jelas, tapi tetap harus fokus supaya tidak kelewatan yah.

Sama halnya dengan di Kete Kesu, di Londa pun sama ramainya. Dari parkiran belum terlihat jelas makam tebing khas Londa. Rupanya kita harus berjalan menuruni anak tangga yang lumayan bikin keringetan, efek udara yang luar biasa panas dan kaki udah mulai pegel sejak ngarak jenazah waktu Rambu Solo’. Di sepanjang anak tangga banyak penyedia jasa guide lengkap dengan lampu petromaks untuk masuk ke dalam gua. Tadinya saya menolak, mengingat suasana pengunjung yang ramai pasti saya ga akan tersesat di gua. Selain itu saya mau mengandalkan senter handphone saja. Tapi entah kena pengaruh darimana, akhirnya saya sewa guide dan petromaks juga.

Dari kejauhan saya melihat ada peti yang tergantung di atas tebing. Warna merahnya yang mencolok cukup menyita perhatian saya. Kata si bapak guide, akan ada acara memasukkan peti ke dalam tebing, karena beberapa hari lalu ada yang meninggal dan lubang tebingnya baru jadi hari ini. Sehingga nanti selesai tur di dalam gua, saya bisa melihat atraksi langka ini. Yeah !

Sesampainya di mulut gua, saya melihat banyak karangan bunga masih fresh dan ucapan turut berduka cita. Rupanya baru saja ada yang meninggal, dan si bapak menunjukkan letak peti jenazah tersebut yang terselip di antara peti-peti yang lain. Mengingat waktu meninggalnya yang belum lama, saya jadi sedikit bergidik ngeri. Tidak semua orang bisa dimakamkan di Londa, melainkan harus berasal dari marga tertentu saja.

Banyak karangan bunga masih fresh, dan peti mati yang masih baru

Tau tau di Londa
Banyak tetesan air saat saya berada di mulut gua. Kata bapak guide, memang selalu seperti itu keadaannya walaupun tidak hujan karena tebing di Londa ini sangat lembab. Sebelum masuk ke dalam gua, bapak guide memompa petromaks agar lebih terang lagi sambil sesekali berkata kepada saya “Di dalam gelap sekali” 

Di dalam pintu gua terdapat 2 buah tengkorak dan disekitarnya diberi rokok. Rupanya memang sengaja diberi rokok-rokok tersebut. Saya pikir itu adalah sampah pengunjung. Tapi ga mungkin jugalah ada pengunjung yang buang sampahnya di tempat seseram ini hahaha. Fyi, ini pertama kalinya saya melihat tengkorak asli, bukan tengkorak ala ala di lab biologi di sekolah dulu.

Tengkorak
Begitu masuk ke dalam gua, rasanya saya langsung bersyukur menyewa jasa bapak guide ini karena di dalam memang gelapnya bukan main. Senter hp rasanya ga akan bisa mengalahkan gelapnya, pantas saja mereka menyewakan petromaks, karena petromaks memiliki cahaya yang menyebar tidak terfokus pada satu titik seperti senter. Dan bayangan saya yang di dalam gua itu rame, sehingga bisa nebeng petromaks orang pun ga terbukti. Saya ga tau kemana orang-orang tersebut. Syukurlah saya sewa petromaks. Saran saya buat yang mau kesana, sewa aja petromaksnya, beneran deh.

Gelap
Kemudian saya ditunjukkan sepasang tengkorak yang berada agak menjorok ke dalam gua. Konon katanya itu adalah Romeo dan Juliet ala Toraja. Cinta mereka ditentang karena rupanya mereka masih saudara sepupu (ya lagian sepupu sendiri ditaksir), dan akhirnya mereka memutuskan untuk mati bersama. Manis sekali.

Tengkorak Romeo dan Juliet ala Toraja
Peti-peti jenazah di Londa diletakkan begitu saja, dimana masih ada tempat kosong disitulah akan diletakkan peti jenazah. Bahkan banyak peti yang yang terselip di celah-celah gua di atas kita. Jadinya kalau kita mendongak ke atas, maka akan terlihat peti jenazah tersusun rapi. A lil bit creepy, ya.
Peti diselipkan di celah-celah gua
Baju jenazah semasa hidup pun juga diletakkan bersama jenazah
Peti-peti akan lapuk dengan sendirinya
Kemudian si bapak menunjukkan sebuah celah yang sempit banget. Sesempit apa ? Sesempit kolong meja ruang tamu kalian di rumah. Bayangkan. Membayangkan harus merayap di tanah gua yang penuh jenazah rasanya membuat saya merinding. Kata si bapak, jalur tersebut nantinya akan tembus ke gua sebelah. Si bapak berusaha meyakinkan saya untuk melewati celah sempit tersebut. Katanya jaraknya tidak panjang, dan celah tersempit di hadapan saya ini sudah yang tersempit, nantinya setelah masuk akan makin melebar. Terbujuk rayuan maut si bapak, saya pun menyetujui untuk masuk ke dalam celah sempit tersebut, diiringi sorakan haru 2 mas pribumi dan 1 mister bule di belakang saya yang keder dan memilih untuk memutar menuju gua sebelah.

Celah ini sempit, dan janji manis si bapak yang mengatakan lubang akan membesar hanya angan angan saja. Bukan jongkok lagi, tapi saya dibuatnya merayap ! Iya, merayap di tanah gua yang dibuat untuk meletakkan jenazah #nangisdarah. Bolak balik saya tanya ke si bapak, “Pak, sampai kapan paaaakkk ?!!!” Saya berada di urutan terakhir, setelah Epi dan si bapak di paling depan. Kalau si bapak menjauh sedikiiiit aja, saya udah ga kebagian cahaya petromaksnya. Kejam kamu pak. Dan akhirnya, sampailah saya di ujung celah dengan keadaan belepotan tanah dan keringat membanjiri badan. Saran saya, kalau kalian punya phobia tempat gelap dan sempit serta pengap, lebih baik jangan masuk ke celah ini. Cukup satu kata, JANGAN ! Di tengah perjalanan aja saya hampir nangis dan menyesali keputusan saya mengikuti rayuan maut si bapak. Saat itu saya tidak terpikir kalau sesak nafas dan pingsan. Mundur juga bukan ide yang bagus, bayangkan saja kalian harus memutar badan di kolong meja tamu rumah kalian. Tapi Alhamdulillah, saya yang badannya segeday ini bisa lolos dari “lubang jarum” di Londa. Setelah keluar dari celah, saya dibanjiri tatapan kagum dari para pengunjung di gua sebelah,”Mbak ini aja berani lho lewatin, keren !” . Tiba-tiba ada suara dengan aksen kebule-bulean dari dalam celah tersebut “Helloooowww !!” Ternyata si bule tadi nekat ngikutin jejak saya, Epi, dan bapak guide masuk ke dalam gua, hanya berbekal senter handphone. Asli, orang bule itu nekat-nekat yah ! Saya ga bisa bayangin gimana keadaan si bule itu di dalam celah sempit dengan badannya yang tinggi besar.

Saya dan Epi dengan senyum kebahagiaan setelah lolos lubang jarum.
Di gua sebelah isinya juga masih sama, peti jenazah dan tengkorak. Tapi disini ada spot foto yang khas jika kita ke Londa. Yaitu berfoto dengan tengkorak-tengkorak. Sebelumnya, hati-hati jangan menyenggol satupun tengkorak disini, karena jika tengkorak tersebut berpindah tempat akan susah untuk mengembalikannya ke tempat asal karena harus menggunakan upacara khusus. Matih.




Selesai sudah tur saya di dalam gua Londa yang lumayan bikin bulu kuduk saya berdiri. Kemistisan dan keangkeran Toraja akhirnya saya dapatkan di Londa. Kalau ke Toraja wajib hukumnya datang kesini. Kalian akan menemukan bahwa kematian itu merupakan hal yang sangat akrab bagi masyrakat Toraja. Dan seperti janji si bapak guide, setelah keluar dari gua maka saya bisa melihat prosesi memasukkan peti ke dalam tebing. Dan benar saja, akhirnya saya melihat proses tersebut. Sumpah saya kagum banget, dengan ketinggian yang ga main-main, ada satu orang yang bertugas memasukkan peti ke dalam tebing. Hanya menggunakan tali sebagai pengamannya. Serius, ini keren banget bloggie.

Tebing Londa. Di lingkaran merah, disanalah proses memasukkan peti.
Titik biru itu adalah orang yang bertugas memasukkan peti ke dalam tebing.
Setelah berpanas-panasan di Londa, saya ingin melanjutkan perjalanan menuju ke Batutumonga. Batutumonga adalah suatu dataran tinggi yang dikenal dengan kampung di atas awan. Namun Epi mengatakan jika saya mau melihat efek awannya harus pagi atau sore saat kabut turun, dan kalau pagi sunrisenya keren banget. Tapi ga masalah, walaupun ga dapet efek awannya, saya tetap ingin pergi ke Batutumonga. Batutumonga, I’m comiing !

Batutumonga berada di kaki gunung Sesean. Jika malam hari, kita bisa melihat kerlap kerlip lampu di kota Rantepao. Saat itu perjalanan Rantepao – Batutumonga, saya tempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Karena jalanannya yang menanjak dan tidak terlalu lebar ditambah banyak lubang, saya pun tidak berani memacu motor lebih cepat lagi. Dalam perjalanan menuju Batutumonga hawa sejuk pun mulai terasa. Ada perbedaan yang cukup menjolok antara udara di Rantepao dengan Batutumonga. Sepanjang perjalanan didominasi hutan dan sawah-sawah yang bertingkat. Ada satu hal yang menarik perhatian saya, di Batutumonga banyak batu-batu besar yang tersebar secara acak. Dan tidak jarang batu tersebut digunakan sebagai kuburan. Epi menjelaskan jika batu-batu ini menurut legenda adalah serpihan tangga menuju surga yang dihancurkan oleh Tuhan karena di kampung tersebut ada skandal cinta terlarang, sehingga Tuhan marah dan menghancurkan tangga menuju surga. Sedangkan kuburan yang berada di dalam batu tersebut disebut Lokomata.

Kuburan di dalam batu
Batutumonga merupakan nama daerah, jadi ketika kita sudah melihat view point bagus untuk melihat Rantepao maka berhentilah. Karena Batutumonga sendiri bukan nama objek wisata, seperti Kete Kesu atau Londa. Melainkan hanya dataran tinggi dengan view yang indah. Walaupun bukan objek wisata, saya rasa perjalanan kesini sangat worthed karena udaranya segar sekali ditambah pemandangan yang keren. Jika sudah sampai Rantepao, luangkanlah waktu menuju Batutumonga. Lebih baik lagi jika menyempatkan menginap semalam disini untuk melihat perpaduan awan dan sunrise yang indah. Fyi, disini banyak disediakan penginapan.

Gunung Sesean
Rantepao dari atas
Karena mulai mendung, maka saya ga terlalu berlama lama menikmati pemandangan di Batutumonga. Walaupun saya sudah beranjak secepat mungkin, akhirnya tetap saja saya kehujanan. Dalam perjalanan menuju Rantepao, jika belum masuk ke perkampungan maka akan susah untuk mencari tempat berteduh. Celakanya jas ujan yang tersedia di motor bukan yang tipe untuk 2 orang, melainkan jas ujan dari plastik kresek yang panjangnya hanya sampai paha. Kalau saya pakai jas ujan itu sampai Rantepao sama aja bakal basah kuyup. Akhirnya setelah nekat menerobos hujan, saya sampai di jalanan yang lebih lebar dan ada tempat untuk berteduh. Hujannya benar benar deras bloggie, sampai jarak pandang hanya bisa kurang lebih 5 meter saja. Entahlah, tipe tanah disini sama seperti yang saya temui di Makassar kemarin, tipe tanah yang gampang banjir dan kalau banjir warnanya menjadi seperti kopi susu. Sambil menunggu hujan reda, saya melihat ada truk kerbau yang terperosok ke dalam lumpur. Lumayan jadi ada yang bisa dilihat selama berteduh.


Truk kerbau yang terjebak
Karena hujan yang tak kunjung reda, dan saya telah berteduh hampir 1 jam. Saya pun memutuskan untuk menerobos hujan saja, Epi pun setuju karena dia juga suka hujan-hujanan. Baru beberapa meter hujan-hujanan, saya mulai menggigil dan tangan saya mulai kebas. Begitu saya lihat, ujung jari saya mulai membiru karena kedinginan. Kehujanan di Batutumonga, menurut saya itu bukan ide yang bagus bloggie. Ga hujan aja hawanya dingin, ditambah hujan pula. Kaya mandi air es rasanya.

Anehnya setelah sampai di Jl. A. Mapanyukki, Rantepao hujannya benar-benar berhenti, dan di Rantepao kering kerontang. Kalau kata Epi, karena di Sangalla lagi ada acara, hujannya dipindahkan dulu supaya ga mengganggu acara. Ada benarnya juga sih. Acara sekelas pensi SMA aja pakai pawang hujan, apalagi ini upacara besar-besaran Rambu Solo' pasti pawang hujannya lebih sakti.

Sesampainya di rumah Kak Nona, saya langsung mandi keramas. Dan kemudian Kak Nona telah menyiapkan makan untuk saya. Nasi hangat dengan telur mata sapi dilengkapi dengan sambal ala Kak Nona, yaitu daun kucai yang diulek dengan cabe. Rasanya ? Sumpah enak banget, buktinya saya sampai nambah nasi 2 piring dengan porsi menggunung.

Jam 7 malam, saya pamit kepada Kak Nona sekeluarga karena saya harus kembali ke Makassar malam itu juga. Sebagai ucapan terima kasih saya berikan sedikit uang untuk Kak Nona sebagai ganti bensinnya yang telah saya habiskan. Walaupun Kak Nona menolak, namun saya memaksa supaya diterima. Melihat jaket saya yang basah kuyup, Kak Nona pun meminjamkan sweaternya kepada saya supaya tidak kedinginan. Toraja sehabis hujan dan udara malam hari adalah kombinasi yang pas untuk menciptakan hawa dingin yang mengigit. Saat meninggalkan rumah Kak Nona, mata saya tertuju pada perbukitan karst yang mengelilingi desa Sangalla, kabut tipis terlihat dibalik kegelapan malam. Entah saya yang melankolis atau gimana, tapi saat itu rasanya saya sedih banget harus meninggalkan Toraja. Ga terasa mata saya mulai panas, iya akhirnya saya menangis juga. Rasanya sedikit ga rela ketika sudah sampai di perwakilan Bus Alam Indah, Rantepao. Dimana saya melihat bus yang akan membawa saya ke Makassar sudah terparkir. Ahh, selamat tinggal Toraja.

Tempat tinggal saya malam ini
Interior Bus Alam Indah tujuan Makassar kali ini lebih bagus
Selimut
Tana Toraja, tanah tinggi tempat para raja. Tempat yang menjadi impian saya. Dan akhirnya saya bisa menjejakkan kaki disini. Tana Toraja, land of heavenly kings. Terima kasih untuk Kak Nona sekeluarga, untu Epi, dan untuk Mba Ani yang telah memperkenalkan saya sama keluarganya yang baik dan mau menjamu saya selama disana.

NOTE : 
*Harga tiket masuk ke Londa IDR 10.000/orang
*Harga sewa petromaks IDR 30.000, untuk biaya guidenya seikhlasnya saja (waktu itu saya beri 20ribu)
*Harga bus Rantepao – Makassar IDR 130.000

 DAMAGE COST : 
*Transport, makan, dan mandi : gratis
*Tiket masuk Kete Kesu : 10.000
*Tiket masuk Londa : 10.000
*Sewa petromaks plus guide : 50.000 (petromaks 30.000, guide seikhlasnya)
*Beli kopi toraja 250gram dan kue deppa korma : 100.000
*Air mineral : 5.000
*Tiket bus Rantepao - Makassar : 130.000
Total : IDR 305.000

No comments:

Post a Comment